Tuesday, April 02, 2013

Satu Setengah Strip (Copas)

“Satu setengah strip?!”, gumam saya dalam hati. Sedikit tak percaya.

“Tapi itu ada garis sambungnya tipis,” sambung saya. Masih dalam hati.

Sungguh tidak disangka!!

“Yaaaaang… beliin aku test pack lain!!. Saya menggedor-gedor pintu kamar mandi satunya yang sedang ditongkrongi suami. 

Sekitar setengah jam, test pack-nya datang. Empat macam. Satu persatu saya celupkan ke urin yang sama. 

“Negatif…”, ujar saya.

“Mungkin sudah teroksidasi…,” jawab suami saya.

Sejak saat itu, saya resmi merasa hamil. Setidaknya dari gejala-gejala hamil yang pernah saya baca, saya merasa positif mengidap sebagian besarnya. Mual, begah, kelelahan, ngantuk, mood swings. 

Esoknya, saya meminta obat penguat rahim oleh dokter langganan. 

Folamil Genio sama Cygest ya. Kalau beli di rumah sakit XX, bilang aja disuruh saya,” balas bu dokter via Whatsapp.

Satu Cygest saja, gejala-gejala hamil saya hilang. Tapi rasanya ada yang salah. 

Oke, menurut yang berhasil dicatat Prof.Google, SpOG, Cygest dapat juga digunakan untuk mengatasi PMS. 

Ah, PMS! Mengapa tidak terpikir…

Hari berganti hari. Entah berapa test pack yang sudah saya coba dan hasilnya hanya satu strip.  Dan entah sudah berapa lama waktu yang saya habiskan di kamar mandi setiap buang air kecil, menunggu munculnya garis kedua. Ya… Garis kedua yang pernah saya lihat muncul agak terlambat, samar-samar pasca inseminasi. Tapi itu pun bukan pertanda kehamilan ternyata. Pengaruh obat-obat hormonal dan kesuburan yang juga meliputi kesuburan tubuh saya.

Hingga Senin itu, saat saya merasa semuanya begitu COCOK. Saya sudah mengajar di kampus dengan lift, tanpa naik turun tangga.  Sudah minta do’a orang-orang terdekat, bahkan orang yang pernah saya sebelin karena SELALU menanyakan dua hal:

“udah isi?” dan “kok tambah gendut?”. Yakali setiap kita berjumpa saya bertambah kilogram-nya. 

Pun, orang itu sudah saya mintakan do’anya. Dan dia pun membalas dengan beberapa emoticon peluk. Cukup menggugurkan perasaan sebal saya. Yang ada saya malah merasa bersalah. Jangan-jangan dia benar, memang sudah waktunya diet ketat…

Ndilalahnya, Senin itu suami saya cuti. Serba Ndilalah. Di hari yang dijadwalkan dokter untuk periksa hamil pertama, suami saya CUTI. Dan memang ndilalah, karena ketika saya memaksakan diri ke dokter di akhir pekan, saya ditolak pihak rumah sakit. Ah, kalau saja saya peserta KJS-nya Pak Jokowi, mungkin saya sudah masuk TV. Rumah sakit tempat dokter langganan saya praktek puenuh luar biasa. Parkiran tumpah ke jalan, pasien sudah sampai nomor puluhan.

Lagipula, mungkin masih terlalu cepat, walaupun cuma dua hari berselang dari Senin. Kalau Senin, usia kandungan saya seharusnya sudah lima minggu. 

Dan saya datang Senin itu. Pagi harinya saya menyempatkan diri test pack lagi, dan hasilnya negatif. Perasaan saya sudah berbeda. Mungkin test pack pertama salah. Mungkin saya tidak hamil. 

Begitu kaki saya melangkah masuk, jantung saya serasa lompat. Berdebar, berdebum debum. Saya tidak pernah suka pergi ke dokter kandungan. Seberapapun saya selalu mengatakan saya tidak berharap, saya juga sekaligus lupa betapa saya sering men-deny perasaan saya sendiri. Harapan itu datang bersama cemas. Berbarengan, sehingga keduanya seakan tidak muat di ruang hati saya yang kurus kering merana.

“Memang tekanan darah Ibu lagi tinggi? Apa selalu begini?” tanya suster.
140/90

Saya menggeleng. Dulu malah saya darah rendah. Terakhir saya normal-normal saja.

“Ada stres?”

Saya mengangguk.

Bahkan melihat pintu ruang dokternya terbuka dan mendengar nama pasien disebut, meskipun bukan saya yang dipanggil, rasanya jantung saya mau migrasi ke Gua Hira saja. Uzlah.

“Ayo, Shinta… Macam orang nggak beriman saja. Tawakkal tawakkal…

Kenapa rasanya sesak? Kenapa rasanya susah? Kenapa jadi seberat ini? Kenapa?” Saya sibuk bermonolog dalam hati.

Buku Muhammad-nya Martin Lings tidak bergerak dari kisah orang-orang Quraisy disindir dalam Al-Qur’an. Sudah saya baca ulang, tapi pikiran saya punya “bacaannya” sendiri. Sibuk bercakap-cakap. Antara saya dan saya. Antara saya yang bijak, penuh ilmu tentang pengelolaan emosi dan berusaha menenangkan saya yang sedang nggak karuan hatinya.

Setelah jam demi jam menunggu dan mondar mandir di koridor rumah sakit. Akhirnya…

“Oh ini, mah salah test pack-nya. Coba deh kita lihat…”, bu dokternya ceplas ceplos. Wajah suami saya berubah. Posisi duduknya merosot sedikit. 

Hati saya: Datar. Bengong. Tidak tahu harus apa. 

Saya yang satu lagi: Tuh kan, apa saya bilang.

Ada lagi saya yang lain entah dari mana: Hush ah, coba aja dilihat dulu.

“Hmm.. ini mah anovulasi. Masih belum berkembang nih dari yang terakhir kemarin. Mau dibikin mens apa nanti dulu?”

Hati saya: sedikit lega.

Hati saya yang lain: tidak bersuara. setidaknya saya tidak mendengar opininya. 

“Emang nggak ada harapan hamil sama sekali, dok?” suami saya buka suara. Kecewa. Marah.

Dokter yang saya datangi memang dokter yang berbeda dengan yang kemarin-kemarin saya Whatsapp. Saya baru beberapa kali berobat ke beliau, alasannya sederhana: Di rumah sakit lama tidak melayani asuransi dari kantor suami saya. Dokter yang biasa saya datangi, tidak akan se-ceplas ceplos ini. Pembawaannya haluuuuuus dan santai bak sahabat lama. 

“I knew it!,” hati saya berseru.

Saya sudah menebak suami saya akan kecewa. Kecewa berat. 

“Yaa… kecillah kemungkinannya…,” ujar dokter enteng. 
Saya sih tidak merasa kenapa-kenapa dengan gayanya. Saya pernah berhadapan dengan dokter perempuan yang lebih galak. Bu dokter di hadapan saya hanya berusaha terus terang.

Asli, hati saya makin tidak karuan melihat suami saya. Kesal, marah, kecewa.

Dan saya menangis. Lagi. Saya memang semacam gampang nangis. Cengeng, bahasa spanyolnya. Senang, sedih, melihat orang senang, melihat orang sedih, marah, dimarahi, salah maupun merasa bersalah, saya mengekspresikannya dengan menangis. 
Sentimentil, konon itu sebutannya.

Lama saya sesenggukan di mobil. Rasanya tidak sanggup, rasanya tidak mungkin begini terus. Saya tidak mau stroke karena mendadak tekanan darah saya naik setiap kali saya periksa dokter. Ini salah. Salah. Banget.

Bukan begini caranya saya punya anak. 

Kami beradu argumen. Ya, memang gaya kami kalau sedang emosi. Langsung saja dikemukakan.

“Bukan karena aku nggak hamil, Bang. Melihat Abang kecewa itu yang membuat aku hancur. Di saat aku butuh sama-sama pegangan. Butuh dikuatkan. Kompak. Sama-sama berjuang lagi…”

Dan itu semua berakhir dengan…

“Ya udah, maafin Abang yaa…Abang salah ya?”. Suami saya meletakkan tangannya di punggung tangan saya. 

Petang itu ajaib, teman-teman.

Argumen sepanjang Margonda-Pasar Minggu itu mendadak berakhir dengan tekad yang sama: “Bukan begini caranya kita punya anak”.

Dan Allah demikian baik pada saya, karena ketika saya mengira saya sudah lelah, dan tidak sanggup meneruskan perjalanan lagi dan memilih istirahat sejenak, -Melipir, minggir, berteduh sejenak sambil kipas-kipas-, saya mengajukan satu pertanyaan pada diri sendiri.

Saya: “Kenapa harus seperti tadi? Macam orang nggak punya iman….”

Saya yang satu lagi (yang hatinya sedang terluka…): “Karena saya merasa gagal.

Bagaimana saya memberitahukan orang tua saya kalau saya gagal? Kalau saya belum berhasil hamil…”

Saya: “Lho bukankah hamil atau tidak, diberi kehidupan atau tidak dalam rahim itu domain Allah? Memangnya Saya yang diberi tugas menjadikannya ada atau tiada?”
Dong!!

Saya yang satu lagi (luka hatinya mulai sembuh…): “Astaghfirullah… memangnya siapa saya sombong sekali merasa memegang kendali atas hamil tidaknya saya, atas terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Pantas saja terasa berat. Wong wilayah-nya Allah saya coba ambil. Siapa yang sanggup?!”

“Sayaaaaang,” Saya memanggil suami saya. Sudah riang kembali. Bak anak-anak setelah turun demamnya kayak di iklan-iklan obat penurun panas.

“Aku siap meneruskan kembali!!! Ayo kita berjuang lagi!!!”

And so life goes on untuk saya dan suami saya,… dan calon penghuni rahim saya… ;)

***

“Ma, tadi aku sudah ke dokter,”

“Apa kata dokternya?”

“Kosong, Ma. Aku cuma telat mens aja. Belum hamil,”

“Ya udah, nggak apa-apa…”

“Iya, Do’ain ya, Ma…”

Telepon ditutup.

***
Ah! Manusia. Selalu ingin mengontrol jalan hidupnya. Harus kaya, harus cantik, harus jadi ini, jadi itu. Ya, manusia memang mengendarai hidupnya, punya kendali penuh atas dirinya. Kendali penuh menjadikan hidupnya selaras dengan keinginan Tuhannya. Itulah jalan yang harus ia tempuh. Sederhana. Mengapa menjadikannya begitu rumit?

Ndilalah. Pada sebuah “ndilalah” selalu ada hikmah. Kadang kita mengetahuinya belakangan, kadang kita dibiarkan-Nya tidak mengetahui sama sekali…


Sebuah cerita yang begitu mengena di hati, membuat saya tidak mudah menyerah. Semangat bagi para calon Ibu ^^

Mau tau lebih jauh sama penulisnya, mampir sini aja :)

Yuk berpikir positif (renungan untuk diri sendiri)

Tiba-tiba ada yang meluap-luap dalam hati, yang ingin dilepaskan. Setelah hampir setahun kami menikah, kenapa tak kunjung diberikan anak? Sedang seringkali saya mendengar sahabat-sahabat saya yang tak lama setelah menikah, langsung diberikan kebagiaan anak. Pertanyaan yang berat dan saya pun tak bisa menjawabnya. Ah sungguh saya merindukan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga kecil kami.

Yah, sebenarnya hal ini sungguh hal yang tidak menyenangkan, karena dulu sewaktu masih single dan teman-teman terdekat saya, sudah menggenapkan setengah dien-nya, Ibu saya selalu bertanya, "Kapan kamu nyusul?" Walhasil saya cuma tersenyum datar, "Insya Allah Mah secepatnya, jodoh ga kemana koq. Allah pasti mempertemukan pasangan hidupku di saat yang tepat." Alhamdulillah, tepat pada tanggal 3 September 2013, ada seorang laki-laki menyampaikan maksud ingin mempersunting saya, proses ta'aruf dimulai hingga akhirnya kami sepakat untuk mengikrarkan janji membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah pada 14 April 2012.

Lalu sekarang setelah saya menikah.. berlanjut dengan pertanyaan, "Udah isi belum?" Sebenernya buat saya pertanyaan ini biasa saja, dan biasanya hanya akan saya jawab, "Belum, Insya Allah secepatnya. Mohon doanya yaa." Tetapi terkadang ada pertanyaan berlanjut, "Kemaren tuh yang nikahnya pas bareng kamu (atau setelah kamu nikah), sekarang malah udah hamil 2 bulan." Nyess.. itu nusuk banget rasanya. Atau ada juga yang mengatakan bahwa, "eeh, periksa sonoh ke dokter, siapa tau ada masalah dengan kamu." Hhmm.. Ada apa sih dengan pernyataan itu? Kenapa pernyataan yang segitu sederhana, mengandung nada menyindir, menurut pikiran saya. Padahal melihat struktur kata-katanya, itu adalah sebuah ajakan yang baik, tapi rasanya terdengar seperti olokan.

Aaaah kenapa juga sih dipikirkan... Allah itu selalu sesuai dengan prasangka hamba-Nya koq. Jika kita berpikir bahwa Allah tidak mau mengabulkan doa kita, itu bukan karena Dia tidak sayang pada kita. Mungkin, itu karena Dia sayang bangeed malah sama kita, ingin menguji kita, atau malah suka mendengar doa-doa kita. Saat kita berurai air mata, berdoa dengan khusyuk, sujud di sepertiga malam, justru itulah yang Allah suka. Allah rindu saat kita mencurahkan isi hati kita pada-Nya. Allah tidak pelit untuk mengabulkan doa kita, hanya saja Dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya kepada kita. Mem-package sedemikian rupa agar pada saatnya tiba, hal itu akan mnguatkan keimanan kita pada-Nya.

Sebenernya saya sendiri pun banyak mengambil hikmah dari semua ini. Menikmati keberduaan kami, kebersamaan kami, pacaran yang tak pernah kami lakukan sebelumnya. Merencanakan liburan ke keluar kota, menghabiskan weekend dengan nonton bareng berdua, menyusupi agenda training dengan kuliner bersama (ooops..), ataupun hanya berleha-leha saja di rumah, bermanja-manja, ah surga dunia memang :) Bersyukur bahwa kami bisa melakukan aktivitas apapun berdua. Hehe.. Selalu saja selesai dari liburan yang satu, kami merencanakan agenda selanjutnya, Pulau mana lagi yaa Aay yang akan kita tuju?? :)

Baru setahun kebersamaan kami berdua. Tapi rasanya semua dilalui dengan semakin eratnya rasa sayang kami kepada pasangan masing-masing dan rasa cinta kepada Rabb kami. Indah yaa, apa yang sedang Allah rencanakan. Ada suka ada duka, ada sedih ada bahagia, ada kecewa, ada gembira. Semua adalah paketan utuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, Tawazun.

Dan akhirnya kami hanya bisa menyerahkan sepenuhnya kepada Khalik kami, Sang Maha Berkehendak, Sang Maha Pendengar Doa, sambil terus berikhtiar, sambil terus memperbaiki diri agar bisa menjadi sosok orangtua yang hebat, sambil terus menanti di setiap bulannya, sambil terus berpikir positif, believe and wish that He will give this best gift in the right time. Sugooooiii...!!!

=Momentum before anniversary=
Enjoy the day - Jakarta, 2 April 2013 - 2:04 pm