Tuesday, April 02, 2013

Satu Setengah Strip (Copas)

“Satu setengah strip?!”, gumam saya dalam hati. Sedikit tak percaya.

“Tapi itu ada garis sambungnya tipis,” sambung saya. Masih dalam hati.

Sungguh tidak disangka!!

“Yaaaaang… beliin aku test pack lain!!. Saya menggedor-gedor pintu kamar mandi satunya yang sedang ditongkrongi suami. 

Sekitar setengah jam, test pack-nya datang. Empat macam. Satu persatu saya celupkan ke urin yang sama. 

“Negatif…”, ujar saya.

“Mungkin sudah teroksidasi…,” jawab suami saya.

Sejak saat itu, saya resmi merasa hamil. Setidaknya dari gejala-gejala hamil yang pernah saya baca, saya merasa positif mengidap sebagian besarnya. Mual, begah, kelelahan, ngantuk, mood swings. 

Esoknya, saya meminta obat penguat rahim oleh dokter langganan. 

Folamil Genio sama Cygest ya. Kalau beli di rumah sakit XX, bilang aja disuruh saya,” balas bu dokter via Whatsapp.

Satu Cygest saja, gejala-gejala hamil saya hilang. Tapi rasanya ada yang salah. 

Oke, menurut yang berhasil dicatat Prof.Google, SpOG, Cygest dapat juga digunakan untuk mengatasi PMS. 

Ah, PMS! Mengapa tidak terpikir…

Hari berganti hari. Entah berapa test pack yang sudah saya coba dan hasilnya hanya satu strip.  Dan entah sudah berapa lama waktu yang saya habiskan di kamar mandi setiap buang air kecil, menunggu munculnya garis kedua. Ya… Garis kedua yang pernah saya lihat muncul agak terlambat, samar-samar pasca inseminasi. Tapi itu pun bukan pertanda kehamilan ternyata. Pengaruh obat-obat hormonal dan kesuburan yang juga meliputi kesuburan tubuh saya.

Hingga Senin itu, saat saya merasa semuanya begitu COCOK. Saya sudah mengajar di kampus dengan lift, tanpa naik turun tangga.  Sudah minta do’a orang-orang terdekat, bahkan orang yang pernah saya sebelin karena SELALU menanyakan dua hal:

“udah isi?” dan “kok tambah gendut?”. Yakali setiap kita berjumpa saya bertambah kilogram-nya. 

Pun, orang itu sudah saya mintakan do’anya. Dan dia pun membalas dengan beberapa emoticon peluk. Cukup menggugurkan perasaan sebal saya. Yang ada saya malah merasa bersalah. Jangan-jangan dia benar, memang sudah waktunya diet ketat…

Ndilalahnya, Senin itu suami saya cuti. Serba Ndilalah. Di hari yang dijadwalkan dokter untuk periksa hamil pertama, suami saya CUTI. Dan memang ndilalah, karena ketika saya memaksakan diri ke dokter di akhir pekan, saya ditolak pihak rumah sakit. Ah, kalau saja saya peserta KJS-nya Pak Jokowi, mungkin saya sudah masuk TV. Rumah sakit tempat dokter langganan saya praktek puenuh luar biasa. Parkiran tumpah ke jalan, pasien sudah sampai nomor puluhan.

Lagipula, mungkin masih terlalu cepat, walaupun cuma dua hari berselang dari Senin. Kalau Senin, usia kandungan saya seharusnya sudah lima minggu. 

Dan saya datang Senin itu. Pagi harinya saya menyempatkan diri test pack lagi, dan hasilnya negatif. Perasaan saya sudah berbeda. Mungkin test pack pertama salah. Mungkin saya tidak hamil. 

Begitu kaki saya melangkah masuk, jantung saya serasa lompat. Berdebar, berdebum debum. Saya tidak pernah suka pergi ke dokter kandungan. Seberapapun saya selalu mengatakan saya tidak berharap, saya juga sekaligus lupa betapa saya sering men-deny perasaan saya sendiri. Harapan itu datang bersama cemas. Berbarengan, sehingga keduanya seakan tidak muat di ruang hati saya yang kurus kering merana.

“Memang tekanan darah Ibu lagi tinggi? Apa selalu begini?” tanya suster.
140/90

Saya menggeleng. Dulu malah saya darah rendah. Terakhir saya normal-normal saja.

“Ada stres?”

Saya mengangguk.

Bahkan melihat pintu ruang dokternya terbuka dan mendengar nama pasien disebut, meskipun bukan saya yang dipanggil, rasanya jantung saya mau migrasi ke Gua Hira saja. Uzlah.

“Ayo, Shinta… Macam orang nggak beriman saja. Tawakkal tawakkal…

Kenapa rasanya sesak? Kenapa rasanya susah? Kenapa jadi seberat ini? Kenapa?” Saya sibuk bermonolog dalam hati.

Buku Muhammad-nya Martin Lings tidak bergerak dari kisah orang-orang Quraisy disindir dalam Al-Qur’an. Sudah saya baca ulang, tapi pikiran saya punya “bacaannya” sendiri. Sibuk bercakap-cakap. Antara saya dan saya. Antara saya yang bijak, penuh ilmu tentang pengelolaan emosi dan berusaha menenangkan saya yang sedang nggak karuan hatinya.

Setelah jam demi jam menunggu dan mondar mandir di koridor rumah sakit. Akhirnya…

“Oh ini, mah salah test pack-nya. Coba deh kita lihat…”, bu dokternya ceplas ceplos. Wajah suami saya berubah. Posisi duduknya merosot sedikit. 

Hati saya: Datar. Bengong. Tidak tahu harus apa. 

Saya yang satu lagi: Tuh kan, apa saya bilang.

Ada lagi saya yang lain entah dari mana: Hush ah, coba aja dilihat dulu.

“Hmm.. ini mah anovulasi. Masih belum berkembang nih dari yang terakhir kemarin. Mau dibikin mens apa nanti dulu?”

Hati saya: sedikit lega.

Hati saya yang lain: tidak bersuara. setidaknya saya tidak mendengar opininya. 

“Emang nggak ada harapan hamil sama sekali, dok?” suami saya buka suara. Kecewa. Marah.

Dokter yang saya datangi memang dokter yang berbeda dengan yang kemarin-kemarin saya Whatsapp. Saya baru beberapa kali berobat ke beliau, alasannya sederhana: Di rumah sakit lama tidak melayani asuransi dari kantor suami saya. Dokter yang biasa saya datangi, tidak akan se-ceplas ceplos ini. Pembawaannya haluuuuuus dan santai bak sahabat lama. 

“I knew it!,” hati saya berseru.

Saya sudah menebak suami saya akan kecewa. Kecewa berat. 

“Yaa… kecillah kemungkinannya…,” ujar dokter enteng. 
Saya sih tidak merasa kenapa-kenapa dengan gayanya. Saya pernah berhadapan dengan dokter perempuan yang lebih galak. Bu dokter di hadapan saya hanya berusaha terus terang.

Asli, hati saya makin tidak karuan melihat suami saya. Kesal, marah, kecewa.

Dan saya menangis. Lagi. Saya memang semacam gampang nangis. Cengeng, bahasa spanyolnya. Senang, sedih, melihat orang senang, melihat orang sedih, marah, dimarahi, salah maupun merasa bersalah, saya mengekspresikannya dengan menangis. 
Sentimentil, konon itu sebutannya.

Lama saya sesenggukan di mobil. Rasanya tidak sanggup, rasanya tidak mungkin begini terus. Saya tidak mau stroke karena mendadak tekanan darah saya naik setiap kali saya periksa dokter. Ini salah. Salah. Banget.

Bukan begini caranya saya punya anak. 

Kami beradu argumen. Ya, memang gaya kami kalau sedang emosi. Langsung saja dikemukakan.

“Bukan karena aku nggak hamil, Bang. Melihat Abang kecewa itu yang membuat aku hancur. Di saat aku butuh sama-sama pegangan. Butuh dikuatkan. Kompak. Sama-sama berjuang lagi…”

Dan itu semua berakhir dengan…

“Ya udah, maafin Abang yaa…Abang salah ya?”. Suami saya meletakkan tangannya di punggung tangan saya. 

Petang itu ajaib, teman-teman.

Argumen sepanjang Margonda-Pasar Minggu itu mendadak berakhir dengan tekad yang sama: “Bukan begini caranya kita punya anak”.

Dan Allah demikian baik pada saya, karena ketika saya mengira saya sudah lelah, dan tidak sanggup meneruskan perjalanan lagi dan memilih istirahat sejenak, -Melipir, minggir, berteduh sejenak sambil kipas-kipas-, saya mengajukan satu pertanyaan pada diri sendiri.

Saya: “Kenapa harus seperti tadi? Macam orang nggak punya iman….”

Saya yang satu lagi (yang hatinya sedang terluka…): “Karena saya merasa gagal.

Bagaimana saya memberitahukan orang tua saya kalau saya gagal? Kalau saya belum berhasil hamil…”

Saya: “Lho bukankah hamil atau tidak, diberi kehidupan atau tidak dalam rahim itu domain Allah? Memangnya Saya yang diberi tugas menjadikannya ada atau tiada?”
Dong!!

Saya yang satu lagi (luka hatinya mulai sembuh…): “Astaghfirullah… memangnya siapa saya sombong sekali merasa memegang kendali atas hamil tidaknya saya, atas terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Pantas saja terasa berat. Wong wilayah-nya Allah saya coba ambil. Siapa yang sanggup?!”

“Sayaaaaang,” Saya memanggil suami saya. Sudah riang kembali. Bak anak-anak setelah turun demamnya kayak di iklan-iklan obat penurun panas.

“Aku siap meneruskan kembali!!! Ayo kita berjuang lagi!!!”

And so life goes on untuk saya dan suami saya,… dan calon penghuni rahim saya… ;)

***

“Ma, tadi aku sudah ke dokter,”

“Apa kata dokternya?”

“Kosong, Ma. Aku cuma telat mens aja. Belum hamil,”

“Ya udah, nggak apa-apa…”

“Iya, Do’ain ya, Ma…”

Telepon ditutup.

***
Ah! Manusia. Selalu ingin mengontrol jalan hidupnya. Harus kaya, harus cantik, harus jadi ini, jadi itu. Ya, manusia memang mengendarai hidupnya, punya kendali penuh atas dirinya. Kendali penuh menjadikan hidupnya selaras dengan keinginan Tuhannya. Itulah jalan yang harus ia tempuh. Sederhana. Mengapa menjadikannya begitu rumit?

Ndilalah. Pada sebuah “ndilalah” selalu ada hikmah. Kadang kita mengetahuinya belakangan, kadang kita dibiarkan-Nya tidak mengetahui sama sekali…


Sebuah cerita yang begitu mengena di hati, membuat saya tidak mudah menyerah. Semangat bagi para calon Ibu ^^

Mau tau lebih jauh sama penulisnya, mampir sini aja :)

Yuk berpikir positif (renungan untuk diri sendiri)

Tiba-tiba ada yang meluap-luap dalam hati, yang ingin dilepaskan. Setelah hampir setahun kami menikah, kenapa tak kunjung diberikan anak? Sedang seringkali saya mendengar sahabat-sahabat saya yang tak lama setelah menikah, langsung diberikan kebagiaan anak. Pertanyaan yang berat dan saya pun tak bisa menjawabnya. Ah sungguh saya merindukan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga kecil kami.

Yah, sebenarnya hal ini sungguh hal yang tidak menyenangkan, karena dulu sewaktu masih single dan teman-teman terdekat saya, sudah menggenapkan setengah dien-nya, Ibu saya selalu bertanya, "Kapan kamu nyusul?" Walhasil saya cuma tersenyum datar, "Insya Allah Mah secepatnya, jodoh ga kemana koq. Allah pasti mempertemukan pasangan hidupku di saat yang tepat." Alhamdulillah, tepat pada tanggal 3 September 2013, ada seorang laki-laki menyampaikan maksud ingin mempersunting saya, proses ta'aruf dimulai hingga akhirnya kami sepakat untuk mengikrarkan janji membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah pada 14 April 2012.

Lalu sekarang setelah saya menikah.. berlanjut dengan pertanyaan, "Udah isi belum?" Sebenernya buat saya pertanyaan ini biasa saja, dan biasanya hanya akan saya jawab, "Belum, Insya Allah secepatnya. Mohon doanya yaa." Tetapi terkadang ada pertanyaan berlanjut, "Kemaren tuh yang nikahnya pas bareng kamu (atau setelah kamu nikah), sekarang malah udah hamil 2 bulan." Nyess.. itu nusuk banget rasanya. Atau ada juga yang mengatakan bahwa, "eeh, periksa sonoh ke dokter, siapa tau ada masalah dengan kamu." Hhmm.. Ada apa sih dengan pernyataan itu? Kenapa pernyataan yang segitu sederhana, mengandung nada menyindir, menurut pikiran saya. Padahal melihat struktur kata-katanya, itu adalah sebuah ajakan yang baik, tapi rasanya terdengar seperti olokan.

Aaaah kenapa juga sih dipikirkan... Allah itu selalu sesuai dengan prasangka hamba-Nya koq. Jika kita berpikir bahwa Allah tidak mau mengabulkan doa kita, itu bukan karena Dia tidak sayang pada kita. Mungkin, itu karena Dia sayang bangeed malah sama kita, ingin menguji kita, atau malah suka mendengar doa-doa kita. Saat kita berurai air mata, berdoa dengan khusyuk, sujud di sepertiga malam, justru itulah yang Allah suka. Allah rindu saat kita mencurahkan isi hati kita pada-Nya. Allah tidak pelit untuk mengabulkan doa kita, hanya saja Dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya kepada kita. Mem-package sedemikian rupa agar pada saatnya tiba, hal itu akan mnguatkan keimanan kita pada-Nya.

Sebenernya saya sendiri pun banyak mengambil hikmah dari semua ini. Menikmati keberduaan kami, kebersamaan kami, pacaran yang tak pernah kami lakukan sebelumnya. Merencanakan liburan ke keluar kota, menghabiskan weekend dengan nonton bareng berdua, menyusupi agenda training dengan kuliner bersama (ooops..), ataupun hanya berleha-leha saja di rumah, bermanja-manja, ah surga dunia memang :) Bersyukur bahwa kami bisa melakukan aktivitas apapun berdua. Hehe.. Selalu saja selesai dari liburan yang satu, kami merencanakan agenda selanjutnya, Pulau mana lagi yaa Aay yang akan kita tuju?? :)

Baru setahun kebersamaan kami berdua. Tapi rasanya semua dilalui dengan semakin eratnya rasa sayang kami kepada pasangan masing-masing dan rasa cinta kepada Rabb kami. Indah yaa, apa yang sedang Allah rencanakan. Ada suka ada duka, ada sedih ada bahagia, ada kecewa, ada gembira. Semua adalah paketan utuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, Tawazun.

Dan akhirnya kami hanya bisa menyerahkan sepenuhnya kepada Khalik kami, Sang Maha Berkehendak, Sang Maha Pendengar Doa, sambil terus berikhtiar, sambil terus memperbaiki diri agar bisa menjadi sosok orangtua yang hebat, sambil terus menanti di setiap bulannya, sambil terus berpikir positif, believe and wish that He will give this best gift in the right time. Sugooooiii...!!!

=Momentum before anniversary=
Enjoy the day - Jakarta, 2 April 2013 - 2:04 pm

Thursday, February 14, 2013

Tersenyumlah... Istrimu akan bahagia ^____^

Portal berita liputan6.com (Senin 3 Desember 2012) memuat artikel yang menyatakan bahwa apabila lelaki ingin membuat perempuan patuh, tidak perlu repot-repot dengan merayunya. Cukup dengan senyuman singkat saja, perempuan bisa melakukan apa yang diminta oleh lelaki. Hal itu terkait dengan tiga penelitian dari para ilmuwan University of Granada di Spanyol, yang ingin mengetahui dampak senyuman lelaki kepada persepsi perempuan terhadap diri dan bahasa tubuhnya.

Penelitian itu menunjukkan, ketika lelaki berperan dominan, perempuan akan sering mematuhinya jika lelaki tersenyum padanya. Pakar bahasa tubuh Patti Wood mengatakan, temuan itu mengganggu tetapi bisa jadi karena wanita lebih mengandalkan bahasa tubuh dibanding laki-laki dalam membuat keputusan. “Bahkan jika ada disonansi antara apa yang telah dikatakan dan apa yang dilakukan tubuhnya, wanita akan melihat ke tubuh. Jika mereka melihat senyum, maka interaksi terlihat lebih ramah”.

Saran Wood kepada perempuan yang tidak ingin dimanipulasi senyuman seorang lelaki, terutama ketika berada di tempat kerja, adalah mengetahui apa yang perempuan inginkan sebelum bertemu laki-laki. Dia mengatakan, hal ini akan meningkatkan bahasa tubuh perempuan serta mengurangi jumlah saraf tics yang mengungkapkan kekhawatiran. Salah satu poin penting dari studi ini adalah pengaruh senyum lelaki (baca : suami) terhadap sikap perempuan (baca : isteri).

Apa sulitnya untuk tersenyum kepada isteri? Sebagian ahli kesehatan menyatakan, dibutuhkan 43 otot untuk cemberut dan hanya 17 otot untuk tersenyum. Sebagian ahli lainnya menyebutkan dibutuhkan 62 otot untuk cemberut dan hanya 26 otot untuk tersenyum. Lebih sedikit otot untuk tersenyum, artinya jauh lebih mudah tersenyum daripada cemberut. Energi tersenyum lebih sedikit daripada energi untuk cemberut.

Seorang psikolog di Universitas Michigan, Prof. James V. McConnell mengatakan, “Orang yang tersenyum cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih efektif, serta mampu membesarkan anak-anak yang lebih bahagia. Ada jauh lebih banyak informasi tentang senyuman daripada sebuah kerut di kening. Karena senyum itulah yang mendorong semangat, sehingga menjadi alat pengajar yang jauh lebih efektif daripada hukuman."

Senyuman suami memberikan banyak informasi tentang kegembiraan, kepercayaan, kehangatan, kelembutan, kasih sayang, cinta, motivasi dan juga harapan. Isteri menangkap senyum yang mengembang dari wajah suaminya dengan kebahagiaan, sedangkan wajah cemberut akan mendatangkan siksaan. Betapa damai hati isteri, dan menghadirkan kebahagiaan yang sejati, jika suami selalu memberikan senyum tulus untuk sang isteri. Sebaliknya, betapa menderita perasaan isteri, jika suami selalu berwajah masam dan cemberut.

Senyuman bisa mendatangkan kebahagiaan. Jika suami tersenyum tulus untuk isteri, maka perasaan bahagia akan bersemayam dalam jiwanya. Dengan hati bahagia, isteri akan bersedia melakukan banyak hal untuk suaminya. Kepatuhan dan ketaatan yang tulus, bukan karena paksaan atau ketakutan. Bukan pula karena doktrin keagamaan tentang ketaatan. Namun lebih karena hasrat untuk memberikan yang terbaik bagi suami, karena suami telah berlaku baik terhadap dirinya. Senyuman yang tulus adalah kebaikan tak ternilai harganya.


Tersenyum Itu Sehat
Para ilmuwan menemukan bahwa tersenyum bisa membantu menurunkan kadar stres dan meningkatkan kesehatan jantung kita. Sebuah riset di University of Kansas meneliti potensi tersenyum dengan melihat berbagai jenis senyum dan kepedulian terhadap senyuman. Hal itu bisa mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi stres yang dihadapinya. “Peribahasa lama mengatakan, ”tahanlah rasa sakit tanpa mengeluh”, telah menunjukkan bahwa tersenyum tidak hanya penting untuk indikator kebahagiaan nonverbal, tetapi juga menjanjikan obat bagi semua jenis masalah yang membuat stres,” kata ketua penulis, Tara Kraft, seperti dikutip Daily Mail. “Kami meneliti apakah peribahasa ini mempunyai efek ilmiah, yakni apakah tersenyum benar-benar memiliki hubungan dengan kesehatan.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersenyum memang berpengaruh pada pernyataan fisik kita.

Secara umum, senyum dibagi menjadi dua kategori, senyum standar, yang menggunakan otot-otot di sekitar mulut, dan senyum asli atau senyum Duchenne, yang melibatkan otot-otot di sekitar mulut dan mata. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa emosi positif bisa membantu selama masa stres dan bahwa tersenyum bisa mempengaruhinya. Namun hasil penelitian dari Kraft dan Pressman ini adalah yang pertama kalinya meneliti jenis senyum seseorang guna mengetahui dampak senyum pada kadar stres.

Jadi, jika ingin sehat, selalu tersenyumlah pada dunia. Terlebih pada isteri anda. Senyum membuat para suami terjauh dari stres, dan membuat isteri bahagia. Jika isteri anda bahagia, pasti akan semakin sayang kepada anda. Tentu saja hal ini berlaku pula bagi isteri, selalu berikan senyum tulus dan paling indah untuk suami. Maka suami akan bahagia dan semakin sayang kepada anda.

Selamat pagi, selamat beraktivitas. Smile :)

Untuk lebih jelasnya bisa klik disini.

Cahyadi Takariawan
Penulis Buku "Wonderful Family", Senior Editor PT Era Adicitra Intermedia, Anggota IKAL-XLV, Pengasuh Pengajian Permata (Pernik-pernik Rumah Tangga)

Friday, January 25, 2013

Manajemen Pipis

Teringat pada saat saya sedang dalam perjalanan menuju Universitas Indonesia, Salemba. Si supir alias temen yang saya tebengin mobilnya merasa kebelet kencing. Hari ini dia menghabiskan banyak air yang diminumnya menjelang kepergian kami menuju Salemba.

Bisa dibayangkan, si temen saya ini sampai berteriak-teriak, meraung-raung dan mencakar-cakar alih-alih akan segera melahirkan (gilaa, lebay bgt nih ngejelasinnya). Saya yang berada di sebelahnya, hanya bisa cool, calm, and confidence aja padahal dalam hati udah ketar-ketir juga. "Buset, gimana kalo sampe bener-bener ga tahan dan kencing di pinggir jalan nih?" Sedangkan saat itu jalanan di kawasan Taman Surapati maceeet parah. "Aaaakh.. Mba Tamiii, aku udah ga kuat, ini udah di ujung banget." Kontan saya ketawa, walo was-was juga sih, "Ya udah kita berhenti di Metropole 21 aja yaa, bioskop pasti ada toiletnya." Satu menit... dua menit.. mobil sedikit demi sedikit bergerak. Sepuluh menit... lima belas menit... hingga mungkin lebih setengah jam, akhirnya kami tiba juga di Metropole. Si temen saya itu pun langsung melesat menuju toilet, hehehhe... Weis dah Alhamdulillah.. deg-degan saya akhirnya hilang juga.

Boleh dikata, ini pertama kalinya saya melihat ada orang kebelet pipis SANGAADH. Seringnya sih saya melihat orang yang lagi kebelet pup **hahaa.. padahal itu mah saya sendiri :D Pernah tuh, saya nahan-nahan ampe keluar keringet dingin padahal dalam perjalanan jauh dari Bendungan Hilir sampe Pulo Gadung (ga perlu diceritain yaa??). Ya ampuun, rasanya begitu dikeluarin di toilet tuh, ikhlas banget dah.. Tapi akhirnya ini jadi pelajaran yang sangat berharga.

Kali ini saya gak mau ngejelasin tentang manajemen pup (karna jujur kalo yangg ini saya mah gak jago), jadiiii... berbagi manajemen pipis ala Erdina Utami yaa >.< wkwkkwkwk..

Hyuuuuukk dimulai,

Satu, biasakanlah kencing dahulu sebelum bepergian. Ntah itu berangkat kantor, pulang ke rumah, berangkat maen, mudik, dst, supaya badan kita terasa ringan dan tidak harus menampung yang seharusnya sudah dikeluarkan.

Dua, kencing sebelum tidur. Coba banyangkan kalau kita gak pipis sebelum bobo, bisa-bisa masa kita yang sangat bahagia itu terulang kembali -- pipis di kasuur. Aiiih.. No thank's. Tapi kalo tidak melakukan itu juga gak papa, karena ada yang bilang, saat kita merasa kebelet di malam hari, hal itu bisa membuat kita bangun segar di malam buta, terusin aja tuh sekalian Qiyamul Lail, ya gaak?? Tapi kalo belum terlatih, lebih baik biasakan aja pipis sebelum tidur.

Tiga, kencing setelah bangun tidur. Setelah kita beristirahat cukup lama di malam hari, kandung kemih kita akan penuh dengan urine, segeralah dikeluarkan.

Empat, kencing sebelum sholat. Tentu kamu gak mau kan, nahan-nahan pipis pas lagi sholat? Biar pas sholat pas udah plong gituu :D

Lima, kencing setelah tiba di rumah. Dalam perjalanan, terkadang kita suka menahan agar tidak kencing di jalan (masa iya mau pipis di pinggir jalan..) Nah, begitu tiba di rumah langsung saja dikeluarkan, kadang seseorang suka merasa tidak bisa ke toilet kalo bukan di rumahnya sendiri, iya ndaak? :)

Enam, kencinglah dahulu sebelum melakukan aktivitas yang berat dan lama. Contoh misalnya kita sedang olahraga, jangan sampai kebelet mengganggu rangkaian aktivitas kita, siapa tau abis treatmil mau lanjut aerobik, ato malah angkat besi. Tar badan yang udah panas, malah berangsur-angsur dingin. Atau pas kita sedang berenang, jangan karena ditahan malah akhirnya keluar di kolam renang. heuuheuheueu.. >,<

Hahahhaa.. sekian sharing dari saya. Becanda doank ini mah, tapi jangan dianggap heureuy yaa :D Ini mah cuma mengeluarkan ide di kepala aja dan sisanya hasil dari kebiasaan saya semata. Yaaa kali aja ada benernya yang bisa diterapkan sama kamu semua. Tapi kalo ada yang aneh, jangan diikutin yaa..

Siap kok menerima saran, untuk melengkapi tulisan ini agar lebih masuk akal. Sip..sip.. ahiyaaaaiiy... :D

Jakarta, 25 Januari 2013 - 2:10 pm.
cubicle si saiyah tercinta, 48Fl. Wisma Mulia.

Sulitnya menjadi istri, wanita karier, dan berkuliah

Semua bermula ketika saya ditawari untuk mengikuti kuliah brevet di sebuah universitas terkemuka di Jakarta. Senang? Tentu saja, karena kuliahya dibayarkan kantor, alias GRATIS. Tempatnya juga tidak terlalu jauh, cukup satu jam ditempuh untuk tiba disana dengan asumsi melewati kemacetan kota Jakarta terlebih dahulu. Tapi yang membuat saya galau adalah waktu kuliah yang diselenggarakan di malam hari dan dilaksanakan tiap tiga kali seminggu.

Huuff.. Itu berarti tiap Senin-Rabu-Jumat, saya harus pulang malam buta, layaknya seorang auditor lagi. Untunglah karena di tiga hari dalam seminggu itu, saya bisa selalu pulang dan pergi dengan teman saya yang sejalan pulang. Alhamdulillah, mengurangi sedikit dari ongkos transport dan rasa lelah karena hanya tinggal duduk manis di mobil, sambil memperhatikan jalanan sekitar.

Sudah hampir 4 bulan, saya menjalani aktivitas kuliah ini. Dan selama hampir 4 bulan ini pun, saya merasa keteteran dalam melaksanakan peran sebagai seorang istri. Memasak, membereskan rumah, bercengkrama dengan suami adalah waktu-waktu yang sulit saya luangkan lagi. Begitu tiba di rumah, hal yg ingin saya lakukan adalah mandi, sholat, lalu tidur. Huwaaaaa, sedangkan begitu melihat suami yang menunggu saya pulang dengan senyuman, terluka hati ini karena suami saya ternyata harus turut merasakan kehilangan waktu-waktu berdua kami.

Sungguh saya amat salut, bagi perempuan-perempuan yang sanggup untuk membagi waktunya; di rumah, di kantor, dan di kampus. Apa ini yang namanya wanita zuper yaa, setipe Xena atau tipe Kartini nih.. :D Inilah yang akhirnya membuat saya malas untuk melanjutkan kuliah lagi. Sebagai istri-newbie, pekerjaan sehari-hari ini boleh dikata cukup menguras tenaga, ujung-ujungnya sih kepikiran apa nyari pembantu aja yaa (nanti siiih kalo udah punya anak), atau pekerjaan seperti mencuci pun berakhir di laundry.

Lanjut S2?? Ah, cukup suami saja yang melanjutkan. Saya pun bisa mengambil ilmu darinya ko nanti. Saya masih bisa ikut-ikutan belajar, bisa membantunya saat ada pekerjaan rumah (bisa ga yaa...). At least, bisa mendukungnya, mendorongnya, dan menyemangatinya untuk terus mengejar mimpinya. That's a wife for.

Masih tersisa waktu 3 minggu lagi sebelum akhirnya brevet kelar. Sehabis ini, sepertinya saya harus banyak bayar utang untuk suami saya. Membayar kesendiriannya menunggu selama 5 jam di rumah, mengganti berkurangnya waktu kebersamaan kami berdua :)

**curhatan di sela aktivitas kantor, just wanna say.. i love you Aay :) **
Jakarta, Wisma Mulia Lantai 48 - 25 Januari 2013 - 10:41 am